Para ahli psikologi banyak mengamati perubahan respon individu sebagai
akibat exposure terhadap stimuli.
Mereka antara lain mengembangkan teori pembelajaran classical conditioning, yang memandang perilaku sebagai akibat
asosiasi yang erat antara stimulus primer (misalnya sukses sosial) dan stimulus
sekunder (merek pasta gigi, deodoran, atau sabun).
Stimulus sekunder dipasangkan dengan stimulus primer yang menimbulkan
respon tertentu. Sebagai akibat pemasangan ini, terbentuklah sebuah asosiasi.
Stimulus sekunder dapat memicu reaksi yang sama seperti stimulus pertama. Iklan
efektif umumnya mengkaitkan dengan stimulus yang mampu menciptakan perasaan
positif.
Contohnya adalah kampanye iklan paling sukses sekaligus paling lama
ditayangkan dalam sejarah: kampanye koboi Marlboro. Meskipun banyak yang
mungkin menolak iklan rokok itu, namun tidak akan ada yang membantah
efektivitas kampanye itu. Asumsinya banyak orang menganggap koboi bisa mencerminkan
daya kekuatan, kejantanan, dan rasa aman. Koboi berfungsi sebagai stimulus
primer atau unconditioned stimulus. Perasaan positif yang dipicu
citra koboi adalah unconditioned response.
Selain
koboi, pengiklan kerap memakai pemain film, penyanyi, pembalap, atau bintang
olahraga sebagai endorser. Apa peran penting endorser? Menurut Rhenald Kasali,
ketika banyak ditanya mengapa bersedia menjadi endorser pada dasarnya
berhubungan dengan konsep brand personal,
yaitu pemberian makna pada merk. Endorser terpercaya merupakan syarat
mutlak dalam mengkomunikasikan produk dan proses yang terpercaya juga. Tugas
pemasaran adalah mengangkat produk atau nama korporat dari sekedar komunitas –
nonmerk, berharga murah, misal, bermargin tipis, harga bergantung hanya pada
permintaan dan penawaran menjadi sebuah
merek. Merek pada dasarnya adalah kepercayaan. Dengan kepercayaan itu, konsumen
berani membayar harga premium, member referensi, bahkan dapat lebih memaafkan
apabila melakukan kesalahan.
Pesan yang dibawakan oleh sumber yang terkenal dan menarik umumnya
menjaring perhatian dan recall yang lebih tinggi. Karena itu
banyak selebriti menjadi bintang iklan. Dari rangkuman dari berbagi penelitian
yang dilakukan Angela Van der Lee dan Bass Van der Putte, ternyata merek yang
memakai selebriti sebagai endorser lebih tinggi daya bujuknya ketimbang merek
yang memakai model iklan (cantik atau
ganteng tetapi tidak terkenal), pakar, atau orang biasa sebagi endorser.
Paling tidak, keyakinan ini sejalan dengan temuan survei produsen kondom
Durex. Dari 50.000 partisipan dari berbagai negara, sebagian besar mengaku
pernah berfantasi ingin berhubungan seks dengan selebriti. Selain itu, selebriti umumnya mampu menjadi magnet
untuk menyedot pemirsa TV, hal yang tentunya menarik bagi pemasar yang ingin
memasang iklan.
Selebriti akan lebih efekif bila mereka merupakan personifikasi atribut
produk utama. Sayangnya, selebriti memiliki kredibilitas rendah bila dipaksa
meng-endorse produk yang tidak
terkait dengan profesinya. Demikian pula, selebriti tidak cocok untuk semua
tipe pemirsa. Bagi pemirsa yang kritis atau memiliki keterlibatan tinggi dengan
produk, pemakaian selebriti bisa membuat mereka bersikap negative terhadap
produk. Apalagi bagi produk yang resiko kerugiannya besar, penggunaan selebriti
bisa berpotensi merugikan konsumen.
Faktor-faktor apakah yang menentukan kredibilitas sumber? Terdapat tiga
hal yang paling sering disinggung adalah
faktor keahlian, dapat dipercaya, dan likability.
Keahlian adalah pengetahuan komunikator dalam bidang tertentu sehingga
dapat mendukung klaimnya. Kejujuran menyangkut seberapa jauh sumber
dipersepsikan obyektif dan jujur. Teman biasanya lebih dipercaya ketimbang
orang asing atau wiraniaga, dan orang yang tidak dibayar namun mendukung suatu
produk yang umumnya lebih dipercaya ketimbang orang yang memang dibayar untuk
itu. Likability mengacu pada seberapa
menarik sumber dimata audiens. Sifat-sifat seperti keterusterangan, humoris,
dan apa adanya membuat orang lebih disukai. Sumber yang paling tinggi
kredibilitasnya adalah yang skornya tinggi dalam tiga hal tersebut.
Pada
umumnya pendapat pakar mendukung penggunaan endorser selebritis, asalkan
mempertimbangkan overshadowing effect. Jangan
sampai bintang tersebut mendominasi, sehingga ujung-ujungnya yang lebih diingat
malah si bintang iklan. Si endorser sendiri mungkin sudah memiliki merek
tersendiri, sehingga recall iklan justru tertuju pada bintang iklan bukan pada
benefit atau product proposition.
Apabila pengiklan berkeinginan menggunakan konsep classical conditioning untuk mempengaruhi konsumen, maka beberapa
persyaratan harus dipenuhi.
McSweeney dan Bierly menyebutkan empat kondisi, yaitu :
1.
Tidak boleh ada stimuli lain yang mungkin menghalangi
unconditioned stimulus.
2. Unconditioned
stimulus tersebut belum pernah diasosiasikan dengan merk atau kategori produk
lain.
3. Unconditioned
stimulus itu jangan terlalu familiar dan mesti disajikan secara tunggal.
4.
Classical conditioning lebih efektif apabila
conditioned stimulusnya baru.
Bagikan :
0 komentar:
Posting Komentar